Salam satu pena – Fakta Aktual.
Selamat siang wak! Kali ini kita kupas kerja wakil rakyat ya, jangan lupa siapkan kopi sedikit gula…
Reses, sebuah istilah yang seharusnya menjadi jembatan antara wakil rakyat dan konstituennya, telah berubah menjadi ritual tahunan yang sarat akan kontroversi.
Setiap tahun, ratusan miliar rupiah dihabiskan untuk membiayai kegiatan reses para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, apa yang sebenarnya terjadi selama periode “turun ke bawah” ini?
Alih-alih menyerap aspirasi dan mendengarkan keluhan masyarakat secara mendalam, banyak laporan dan kesaksian yang menunjukkan bahwa reses sering kali hanya menjadi ajang formalitas.
Pertemuan diadakan di tempat-tempat yang sudah ditentukan, dihadiri oleh sekelompok orang yang sudah terorganisir, sementara suara-suara kritis dan masalah-masalah riil dari masyarakat justru terabaikan.
Ketika pembangunan di daerah tidak berjalan sesuai harapan, atau ketika masyarakat menuntut pertanggungjawaban atas janji-janji kampanye yang tidak terealisasi, para anggota DPR seringkali mencari ‘kambing hitam.’
Posisi yang paling sering menjadi sasaran adalah kepala desa. Mereka dituduh tidak becus mengelola dana, tidak mampu mengawasi proyek, atau bahkan dituduh menghambat proses pembangunan.
Padahal, kepala desa adalah garda terdepan pemerintahan yang paling memahami kondisi riil di lapangan. Mereka sering kali berjuang dengan keterbatasan anggaran, birokrasi yang rumit, dan tekanan dari berbagai pihak.
Menyudutkan kepala desa hanya menunjukkan ketidakmauan para anggota DPR untuk mengakui kegagalan mereka sendiri dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan mengalokasikan anggaran yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Masyarakat kini semakin cerdas. Mereka tidak lagi mudah terbuai oleh janji-janji manis dan retorika kosong. Yang dibutuhkan adalah aksi nyata. Para wakil rakyat harus mulai kembali ke esensi tugas mereka: mewakili, menyerap, dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kegiatan Reses harus dievaluasi secara transparan. Setiap anggota DPR wajib melaporkan hasil resesnya secara terbuka, lengkap dengan bukti-bukti yang valid, bukan sekadar laporan formalitas di atas kertas.
Yang diperlukan saat ini adalah kolaborasi bukan saling menyalahkan. Para anggota DPR harus berhenti menyudutkan kepala desa. Sebaliknya, mereka harus membangun kolaborasi yang solid, mendengarkan masukan dari akar rumput, dan bersama-sama mencari solusi terbaik untuk masalah-masalah pembangunan.
Anggota DPR harus berani bertanggung jawab jika seorang wakil rakyat tidak mampu bekerja sesuai dengan mandatnya, maka ia harus bertanggung jawab. Rakyat berhak menuntut pertanggungjawaban dari para wakilnya, baik melalui jalur politik maupun sosial.
Sudah saatnya kursi di parlemen tidak lagi diisi oleh mereka yang hanya sibuk dengan citra dan formalitas, tetapi oleh mereka yang benar-benar mau bekerja dan berpihak pada rakyat. Karena pada akhirnya, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, bukan di tangan mereka yang duduk di kursi parlemen. (*)
BY : IRAWAN PIMRED FAKTA AKTUAL