Tanggamus – Fakta Aktual.
Di tengah hingar-bingar suara murid yang sedang belajar dan tatapan wajah lembut para pendidik bangsa, ternyata sedang terjadi agresi brutal disertai intimidasi terhadap penerus Ki Hajar Dewantara.
Para kepala sekolah (kepsek) di Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus, bukan lagi sibuk memikirkan kurikulum yang terus berganti, melainkan pejuang garis depan yang harus siap siaga menghadapi serangan konyol dari ‘oknum wartawan’.
Ini bukan sembarang profesi; ini adalah medan tempur yang jauh lebih brutal daripada main game perang. Sebelum lanjut, siapkan kopi tanpa gula ya wak!
Setiap pagi, para kepsek harus mengenakan seragam baja dan rompi anti takut karena ada tamu khusus yang datang tanpa diundang, siap menyerbu. Mereka adalah ‘wartawan ninja’ yang memiliki kemampuan kamuflase ala Denjaka.
Pagi bisa jadi petani atau tukang parkir, siang langsung berubah jadi wartawan investigasi dadakan. Hebatnya, mereka ini lebih rajin dibanding petugas piket kebersihan.
Salah satu kepsek yang namanya minta disensor demi keselamatan, curhat, “Setiap dana BOS cair, sekolah kami jadi semacam arena hunger game. Antrean oknum wartawan lebih panjang dari antrean di bank. Awalnya manis, tanya soal program, ujung-ujungnya langsung sodorin paket ‘langganan media’ dengan harga di luar nalar. Kalau menolak, ancaman langsung datang, ‘Siap-siap saja jadi berita viral! Atau mau sekalian dilaporin ke penegak hukum’ Ini bukan jurnalisme, ini jurus pemaksaan tingkat dewa”.
Fenomena nyeleneh ini sudah memakan banyak korban. Ketua K3S Ulu Belu, Iskandar, sampai geleng-geleng kepala. “Sembilan kepsek sudah lempar handuk. Mereka bukan kalah karena kurikulum baru, tapi kalah mental menghadapi teror,” katanya.
Betul, ini bukan lagi soal amanah, ini sudah jadi ajang uji nyali. Saat dana BOS cair, sekolah-sekolah di sana berubah total. Bisa datang 60 orang sekaligus, jadi ‘pengemis’ berkedok jurnalis. Kalau dikumpulkan sudah seperti pedemo bayaran di Kantor Pemerintah.
Mereka ini seperti ‘rombongan sirkus’ yang punya trik bermacam-macam, menawarkan barang seperti anggota MLM (Multi Level Marketing), minta uang bensin, sampai minta jatah uang rokok. Kalau dihitung, anggaran buat ‘silaturahmi’ ini bisa lebih besar dari biaya projek pilot sebuah gedung sekolah.
Seorang pejabat SPLP menanggapi dengan tawa yang hambar. “Mereka itu jack of all trades. Pagi tukang parkir, siang wartawan, malamnya mungkin bisa jadi pawang hujan,” candanya, yang sebenarnya menyentil ironi.
Kalau kondisi ini dibiarkan, pendidikan di Ulu Belu bisa-bisa tamat riwayatnya. Kepala sekolah seharusnya fokus mencerdaskan murid, bukan malah dipaksa melatih diri jadi negosiator ulung.
Sudah saatnya negara hadir, dalam hal ini pihak penegak hukum dan Pemerintah Daerah, untuk segera turun tangan, jangan cuma jadi penonton di pinggir lapangan.
Ingat, wartawan itu harus bertingkah laku baik dan benar dalam mencari berita, bukan mencari-cari kesalahan nara sumber sambil ‘mengemis’ bertopengkan jurnalis! (**)