Jakarta – Fakta Aktual.
Di tengah jeritan rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, tuntutan kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat, menuai kemarahan publik. Ironisnya, alih-alih memperjuangkan nasib masyarakat, para wakil rakyat ini justru tampak lebih sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Wacana kenaikan gaji dan tunjangan DPR menjadi isu yang sangat sensitif, mengingat kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih terpuruk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan masih tinggi, dan daya beli masyarakat terus melemah akibat kenaikan harga kebutuhan pokok.
Banyak warga yang berjuang keras hanya untuk bisa makan, sementara para wakil mereka di Senayan malah menuntut perbaikan fasilitas dan peningkatan pendapatan.
Kesenjangan yang mencolok ini semakin menegaskan anggapan bahwa banyak anggota DPR telah kehilangan empati dan tidak lagi mewakili suara rakyat.
Mereka dianggap lebih loyal pada partai politiknya daripada kepada konstituen yang memilih mereka. Fungsi pengawasan dan legislasi yang seharusnya menjadi prioritas utama justru terkesan dikesampingkan demi urusan internal partai dan ‘isi perut’ pribadi.
Kemarahan publik memuncak dalam sebuah demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR. Ribuan orang, termasuk mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil, menuntut agar para wakil rakyat membatalkan rencana kenaikan gaji dan fokus pada penanggulangan kemiskinan.
Sayangnya, aksi damai ini berubah menjadi kericuhan. Bentrokan tak terhindarkan antara demonstran dan aparat keamanan. Dalam kekacauan tersebut, seorang pengemudi ojek online (ojol) yang kebetulan melintas, menjadi korban.
Saksi mata melaporkan bahwa pengemudi tersebut terlindas kendaraan polisi yang menghalau demonstran hingga mengalami luka serius dan dilarikan ke rumah sakit, namun tak tertolong. Insiden ini menambah panjang daftar korban tak bersalah akibat gejolak politik dan minimnya empati dari para elite.
Peristiwa ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk menyuarakan mosi tidak percaya kepada lembaga legislatif yang mulai berpikir ‘tidak waras’.
Tuntutan untuk perbaikan sistem dan evaluasi kinerja anggota DPR semakin menguat. Publik menuntut agar DPR kembali pada marwahnya sebagai lembaga yang benar-benar mewakili suara rakyat, bukan sekadar menjadi wadah bagi ambisi politik dan ekonomi para elitenya.
Akankah para wakil rakyat ini mendengarkan jeritan hati masyarakat, ataukah mereka akan terus tuli dan memilih jalan yang semakin menjauhkan diri dari rakyat yang mereka wakili? Waktu akan menjawab, namun satu hal yang pasti, kepercayaan publik sudah berada di titik nadir. (One*).