Salam satu pena – Fakta Aktual.
Setiap kali terdengar kabar dana desa sudah cair, ada satu fenomena alam yang secara rutin terjadi di pelosok negeri kita, ‘musim kawin’ para oknum wartawan dan LSM.
Ini adalah metafora untuk ritual kolonial ala baru yang sungguh absurd. Bayangkan, di pagi hari yang cerah, saat burung berkicau dan Pak Kepala Desa sedang merencanakan pembangunan jalan setapak agar warganya bisa main kelereng dengan nyaman, tiba-tiba datanglah rombongan tamu yang serba dadakan.
Sebelum lanjut, jangan lupa siapkan kopi tanpa gula ya wak!
Penampilan mereka berseragam, kemeja lusuh dengan logo media atau lembaga yang tidak pernah kita dengar, atau seragam mirip detektif dari film tahun 80-an dengan emblem suci ‘Kontrol Sosial’.
Mereka datang dengan wajah serius, seolah membawa misi penegakan hukum paling krusial di muka bumi. Mereka tak langsung bicara soal dana desa.
Nada intro dengan basa-basi yang aneh. “Pak Kades, ini desa kok hawanya sejuk sekali ya? Pasti bapak rajin menyiram pohon sambil menabung di bank.” Atau, “Kami dari Lembaga Paling Bersih, kami bisa mencium aroma ketidakberesan dari jarak 10 kilometer.” Bahasa mereka puitis, namun tujuannya sangat materialistis.
Di antara rombongan itu, ada satu sosok yang paling mencolok, sang oknum wartawan. Mereka adalah aktor utama dalam sandiwara ini. Mereka datang bukan membawa berita, melainkan membawa ‘segelas madu dan racun’.
Segelas madu adalah janji manis bahwa nama baik Pak Kades akan tetap aman sentosa, tidak ada berita miring di media. Segelas racun adalah ancaman bahwa semua ‘borok’ desa, entah nyata atau fiktif, akan diberitakan di mana-mana. Tentu saja, ‘racun’ yang dimaksud hanya sebatas media online yang servernya sering down atau koran yang oplahnya hanya untuk diisi ke warung kopi.
Sang oknum wartawan ini, dengan penuh percaya diri, akan mengeluarkan ponselnya. Layaknya seorang detektif, mereka memotret setiap sudut balai desa, dari tumpukan berkas hingga pot bunga yang berdebu.
Mereka berbisik, “Pak, pembangunan pos ronda ini kok catnya sedikit ya? Ini bisa jadi bahan berita besar.” Padahal, pos ronda itu baru saja dicat ulang minggu lalu.
Setelah mengumpulkan ‘bukti’ yang sebenarnya tidak ada, mereka akan duduk manis di hadapan Pak Kades. Dengan nada serius, mereka mulai menuturkan kisah-kisah korupsi yang berhasil mereka gulung, seolah mereka adalah malaikat pencatat amal buruk.
“Kami dapat laporan, Pak, ada dugaan penggunaan dana desa untuk membeli kerupuk udang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Ini bisa jadi kasus besar.” Sebuah sindiran karena kerupuk udang itu adalah konsumsi pribadi Pak Kades saat lembur.
Setelah ruangan kantor mulai berhawa panas, negosiasi mahar dan absurditas drama akhirnya mencapai puncaknya. Sang oknum wartawan dengan mata berbinar-binar akan mengeluarkan map berwarna kuning.
Konon, di dalam map itu berisi foto-foto proyek fiktif, bukti-bukti korupsi yang mereka buat sendiri, atau bahkan sketsa wajah Pak Kades yang sedang menguap karena ngantuk.
“Ini Pak, kami dapat bocoran dari warga kalau pembangunan kandang kambing di belakang balai desa kok ukurannya tidak sesuai RAB,” kata salah satu dari mereka, padahal di desa itu tidak ada kandang kambing sama sekali.
Pak Kades yang sudah hafal skenario ini, biasanya akan tersenyum kecut. Dia tahu, ini adalah fase ‘negosiasi mahar’. Angka-angka gaib mulai disebut.
“kalau mau beres Pak, biayanya buat beli bensin dan bayar pulsa operator kami saja, Rp20 juta cukup kok.”
Akhirnya dana yang seharusnya dipakai untuk membeli gerobak sampah, kini harus dialokasikan untuk ‘uang damai’ agar nama baik desa tetap terjaga, setidaknya di koran mereka yang oplahnya cuma tiga eksemplar.
Absurditasnya tidak berhenti di situ. Kadang, para oknum ini bertingkah layaknya ‘konsultan dadakan’. Mereka memberikan saran-saran aneh.
“Pak Kades, kenapa tidak membuat program pelatihan budidaya kupu-kupu? Itu bisa jadi proyek inovatif dan kami jamin tidak akan kami beritakan.”
Tentu saja, ‘saran’ itu datang dengan harga yang fantastis. Fenomena ini adalah cermin dari ironi yang konyol. Para oknum yang seharusnya menjadi pengawas, kini justru menjadi ‘pemungut cukai’ liar.
Mereka seperti lintah darat yang bersembunyi di balik jubah profesi mulia. Mereka tidak peduli pada pembangunan desa atau kesejahteraan warga. Mereka hanya peduli pada satu hal, kapan dana desa cair, dan seberapa banyak yang bisa mereka ‘kawinkan’ dengan rekening pribadi.
Maka, setiap kali ada berita tentang dana desa cair, dapat dibayangkan bagaimana para oknum ini sudah bersiap di garis start, layaknya pelari maraton yang menunggu aba-aba, untuk berlari secepatnya.
Dengan tas jinjing dan map kuning di tangan, mereka siap bergerak sekencang-kencangnya menuju kantor desa. Musim kawin pun dimulai, dan yang paling kasihan tentu saja Pak Kepala Desa, yang terpaksa jadi juru nikah sekaligus menjadi korban keserakahan sang oknum. (*)
Disclaimer : Hanya berita opini, tak bermaksud menyinggung dan menghina siapapun.