Salam satu pena – Fakta Aktual.
Ketika BUMDes Menjadi Kendaraan Tipu Muslihat. Di balik citra desa yang damai dan pembangunan yang digaungkan, tersembunyi sebuah lakon absurd yang tak kalah rumit dari film thriller terbaik.
Sebelum lanjut, siapkan kopi tanpa gula ya wak! Biar tambah meresapi….
Lakon ini dimainkan oleh para kepala desa yang lihai dalam memanfaatkan celah sistem, mengubah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang seharusnya menjadi motor ekonomi, menjadi panggung utama sandiwara tipu muslihat.
Narasi yang seharusnya tentang kemandirian desa, berbelok menjadi komedi gelap tentang akal-akalan dan pertunjukan konyol di balik layar.
Bayangkan sebuah skenario di mana seorang Kepala Desa bernama Pak Kades, dengan wajah penuh wibawa, mengumumkan telah menyalurkan dana desa untuk penyertaan modal BUMDes yang ada di desanya.
Transfer dana dilakukan, bukti transfer berupa rekening koran dicetak sebagai bukti konkret. Semua terlihat transparan, rapi, dan sesuai prosedur.
Namun, tak lama setelah cetakan rekening koran itu diamankan, terjadi ‘keajaiban’ finansial. Dana tersebut, yang seharusnya menjadi modal BUMDes, secara diam-diam ditarik kembali melalui tangan-tangan pengurus BUMDes yang tak lebih dari ‘boneka’ sang kepala desa.
Uang itu tak pernah benar-benar sampai ke BUMDes untuk operasional atau investasi. Ia hanya mampir sebentar (seperti cinta satu malam) untuk menciptakan jejak digital, lalu lenyap ke kantong pribadi Pak Kades. Masyarakat melihat bukti transfer, tetapi uangnya hanya ilusi.
Aksi yang lebih mustahil berlanjut, BUMDes berencana membeli barang untuk usahanya—misalnya, membeli mesin penggiling padi atau bibit tanaman. Siapa yang menjadi penyedia? Tentu saja, bukan sembarang toko, melainkan ‘toko’ yang terafiliasi dengan kepala desa.
Pak Kades tidak tampil langsung, melainkan menggunakan tangan-tangan terpercaya atau perusahaan fiktif yang ia kendalikan. Barang dibeli, tetapi harganya sudah dinaikkan secara signifikan dari harga pasar.
Selisih harga itu adalah keuntungan tersembunyi yang mengalir kembali ke kantongnya. Para pengurus BUMDes yang seharusnya independen dan mengawasi, hanya bisa mengangguk patuh seperti kerbau dungu!
Mereka tahu, posisi mereka bergantung pada restu Pak Kades. Mereka hanyalah aktor pendukung dalam drama ini, sementara dalangnya menikmati keuntungan di balik layar.
Puncak dari keabsurdan ini adalah modus operandi yang lebih canggih, yakni kerja sama antar-kepala desa. Sejumlah kepala desa yang ‘cerdas’ (katanya) bersekongkol layaknya mafia keuangan.
Mereka memanipulasi data seolah-olah sudah melakukan penyertaan modal 20% dari dana desa ke BUMDes mereka masing-masing.
Caranya? Dengan sistem rotasi dana yang sangat cerdik dan memuakan. Modus operandinya seperti, Desa A mentransfer dana penyertaan modal ke BUMDes Desa A. Setelah dana masuk dan bukti transfer diamankan, kepala desa mengambil kembali uang tersebut.
Uang yang sama kemudian ‘dipinjamkan’ ke Desa B. Desa B lalu mentransfer uang itu ke BUMDes mereka, menciptakan jejak digital seolah-olah mereka baru saja melakukan penyertaan modal.
Setelah bukti transfer didapat, Desa B mengembalikan uang itu ke Desa A, atau bahkan mungkin memberikannya ke Desa C untuk menjalankan trik yang sama. Wih..mirip piala bergilir wak!
Sistem rotasi ini menciptakan ilusi keberhasilan di atas kertas. Setiap desa memiliki bukti bahwa mereka telah memenuhi kewajiban penyertaan modal, padahal itu adalah uang yang sama, yang terus berputar dari satu rekening ke rekening lainnya.
Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun ekonomi riil di desa-desa, hanyalah kemudi untuk memanipulasi data dan melanggengkan kekuasaan para kepala desa.
Pada akhirnya, BUMDes yang seharusnya menjadi harapan untuk kemajuan desa, hanya menjadi alat politik dan keuangan yang menguntungkan segelintir orang.
Masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat, hanya bisa menyaksikan pertunjukan komedi ironis ini, di mana uang rakyat menjadi bahan bakar untuk sandiwara absurd yang tiada habisnya.
Disclaimer : Hanya berita opini.
BY : IRAWAN PIMRED FAKTA AKTUAL