Ironi di Balik Kerusuhan Muktamar PPP ke-10 di Hotel Mercure

Jakarta – Fakta Aktual.

Kerusuhan yang mewarnai pembukaan Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, pada 27-29 September 2025, menyajikan sebuah ironi yang menyakitkan.

Awal tujuan menjadi ajang konsolidasi dan musyawarah untuk menentukan arah partai berlambang Ka’bah tersebut, tapi acara tersebut justru tercoreng oleh aksi saling serang dan lempar kursi antar kader.

Insiden ini bukan hanya menimbulkan korban luka, tetapi juga menampar keras citra partai yang mengusung nilai-nilai keislaman dan persatuan.

​Sebagai partai tertua yang mewadahi aspirasi umat Islam di Indonesia, seharusnya PPP menjadi contoh kedewasaan dalam berpolitik.

Muktamar, sebagai forum tertinggi, harusnya menjadi ruang dialog yang damai dan konstruktif, bukan arena pertarungan fisik yang brutal. Apa yang terjadi di Hotel Mercure adalah cerminan kegagalan internal dalam mengelola perbedaan pendapat dan ambisi politik.

​Pertanyaan besar muncul, Seberapa genting masalah yang dihadapi hingga harus diselesaikan dengan cara-cara anarkis? Keributan yang terjadi sejak hari pertama Muktamar, seperti yang diakui oleh Ketua Umum Muhammad Mardiono, menunjukkan bahwa konflik internal sudah mengakar kuat dan tidak terkelola dengan baik.

Gejala kegaduhan yang berujung pada bentrok fisik hanya mengkonfirmasi adanya dualisme atau setidaknya friksi kuat di dalam tubuh partai.

​Insiden ini merugikan PPP secara keseluruhan. Di tengah dinamika politik nasional yang kompetitif, energi partai justru terkuras untuk menyelesaikan konflik internal yang memalukan.

Publik pun semakin skeptis terhadap kemampuan PPP untuk menjadi kekuatan politik yang solid dan membawa perubahan. Bagaimana mungkin sebuah partai bisa berjuang untuk persatuan umat jika di internalnya sendiri terjadi perpecahan yang begitu kentara?

​Muktamar seharusnya menjadi momentum untuk merumuskan strategi pemenangan Pemilu dan memperkuat basis dukungan. Dengan insiden kerusuhan ini, fokus publik dan energi kader justru teralihkan pada drama konflik. Ini adalah kerugian politik yang besar.

Para elite dan kader harus segera mengambil langkah tegas untuk menghentikan konflik ini, bukan hanya menyembuhkan luka fisik, tetapi juga luka ideologi dan organisasi. Diperlukan jiwa besar dan komitmen untuk mengutamakan kepentingan partai di atas ambisi pribadi atau golongan.

Jika tidak, ‘rumah besar umat Islam’ ini terancam rapuh dan semakin kehilangan relevansinya dalam kancah perpolitikan nasional. Kerusuhan di Mercure harus menjadi alarm keras, bukan sekadar berita sensasional yang akan dilupakan. (One*)

Related posts
Tutup
Tutup