Banyak Titipan Program Pusat, Dana Desa Semakin Tersesat

Salam satu pena – Fakta Aktual.

Tampak di sebuah Cafe pinggir kota, tiga orang berkumpul disalah satu sudut ruangan, berdiskusi kecil namun terlihat serius.

Ketiga orang tersebut bernama Juki Kepala Desa Tanggalu, Boni Kepala Desa Pringisan dan Agri Kepala Desa Persawahan.

Mereka sedang mengeluhkan tentang banyaknya program dari pusat yang harus dijalankan oleh setiap desa di negeri konoha.

“Saya pusing, sekarang banyak  program prioritas dari pusat yang harus diterapkan di desa,” keluh pria berbadan tambun, bernama Juki.

“Penggunaan anggaran dana desa hampir semua diatur oleh atasan, buat apa kita bikin musyawarah desa, percuma,” lanjutnya, sambil mematikan rokok di asbak.

“Kalau begini terus, mau 50 tahun kita jadi Kepala Desa, tetap hidup susah, salah-salah malah masuk penjara,” sahut Agri.

“Terus bagaimana solusinya?,” potong Boni, sembari memandang wajah Agri yang telihat murung.

“Susah, sudah terlalu banyak penyakitnya, terlalu ketat sekarang,” kata Agri, sambil bersandar di tembok kafe.

“Gimana ga susah, sekarang ini  banyak oknum pejabat bermain di dana desa, ikut dalam pengadaan barang, belum lagi campur tangan oknum Wartawan dan LSM,” timpal Agri.

“Kalau seumpamanya kita lawan, pasti kita dijadikan target, ujung-ujungnya nanti diberitakan miring atau dilaporkan ke APH,” tambah Agri.

“Saya tambah bingung, katanya dana desa itu bersifat swakelola dan peruntukannya sesuai dengan kebutuhan desa masing-masing, tapi kok saat ini tambah ga jelas,” ungkap Juki.

Waktu semakin bergulir, hari sudah mulai memasuki petang, tapi ketiga pemimpin desa itu tetap larut dalam hangatnya diskusi dan tidak beranjak dari tempat duduk mereka.

“Kira-kira langkah apa yang harus  dijalankan agar kita dapat untung banyak dari dana desa,” cetus Agri, memecah kesunyian.

“Utang ku masih numpuk, belum lagi setoran bulanan di rentenir, kalau ga lunas bahaya,” lanjutnya, diiringi anggukan kepala Juki dan Boni.

“Kita mainnya di mark up aja, jangan sampai fiktif anggaran, sangat bahaya, sekarang banyak yang usil,” celetuk Boni.

“Atau bisa juga kita akali dengan cara merekayasa kegiatan pembangunan tapi sebenarnya cuma rehab, kan lumayan sisanya,”  sahut Agri.

“Tapi ingat, kita harus main cantik, sistemnya kita adakan urunan uang kemudian dibagikan ke pengawas dan pemeriksa, biar aman,” sambung Boni setengah berbisik.

“Terus kalau ada oknum Wartawan dan LSM yang tahu gimana?, mereka juga harus disumpal mulutnya biar diam,” jawab Juki.

“Walah gampang itu mah, kita ajak MoU aja, paling cuma 2 ratus sampai 3 ratus ribu setahun, kan beres,” ucap Boni meyakinkan.

“Terus kalau ga mau, tapi minta pengadaan barang gimana?,” balas Juki lagi.

“Terima aja asal jangan terlalu banyak, yang penting kita mendapat 30 persen dari barang yang dianggarkan,” terang Boni, mengajari.

Tanpa pikir panjang, Juki dan Agri menyetujui pendapat yang diusulkan oleh Boni, mereka pun akhirnya sepakat untuk melaksanakan rencana mengakali anggaran dana desa.

Ketiganya kemudian bergegas keluar dari lokasi Cafe, karena memang hari sudah mulai nampak gelap. Juki dan Agri terlihat dalam satu mobil bergerak ke dalam kota, sementara Boni berkendara sendiri meluncur ke arah luar kota. (One*)

 

Disclaimer : Jika ada kesamaan nama orang dan tempat itu hanya kebetulan semata. Penulis hanya membuat artikel fiksi untuk hiburan belaka.

Related posts
Tutup
Tutup