Jakarta – Fakta Aktual.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan inisiatif monumental dengan tujuan mulia untuk mengatasi masalah gizi, termasuk stunting, dan membentuk generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan produktif.
Dengan target penerima manfaat mencapai puluhan juta orang, mulai dari anak sekolah hingga ibu hamil dan balita, program ini menegaskan komitmen pemerintah dalam investasi sumber daya manusia.
Dalam implementasinya, Badan Gizi Nasional (BGN) telah mengoperasikan ribuan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG. Namun, seiring dengan masifnya program, serangkaian kasus keracunan makanan yang berulang telah menimbulkan kekhawatiran publik dan menyoroti adanya lubang serius dalam sistem pengawasan dan kualitas pangan.
Investigasi kasus keracunan massal MBG yang terjadi di berbagai daerah sejak Januari hingga September 2025 (mencapai 70 kasus dengan ribuan korban) menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah kontaminasi bakteri berbahaya pada makanan.
Hasil uji laboratorium dari sampel makanan dan muntahan korban seringkali mengkonfirmasi keberadaan bakteri seperti E. coli, Clostridium sp., Staphylococcus Aureus, Salmonella, dan Bacillus Cereus.
Minimnya Pengawasan Higiene Sanitasi: Proses penyiapan dan pengolahan makanan dalam skala besar di SPPG yang seringkali dikelola oleh tenaga lokal (meskipun ada upaya perekrutan koki bersertifikat) belum memenuhi standar higienitas yang ketat.
Skala Produksi dan Waktu Tunggu: Makanan disiapkan terlalu dini sebelum waktu konsumsi (misalnya, sayur dimasak dini hari dan baru dimakan pada pagi/siang hari), yang memberi kesempatan bagi bakteri untuk berkembang biak, terutama jika proses pendinginan atau penyimpanannya.
Kontaminasi juga dapat berasal dari bahan baku yang tidak higienis atau tidak memiliki sertifikasi keamanan pangan yang memadai.
BGN telah menetapkan bahwa menu MBG harus menyediakan konten gizi yang seimbang, dengan komposisi yang dianjurkan terdiri dari 30% protein, 40% karbohidrat, dan 30% serat serta mineral.
Menu ini dirancang tidak hanya untuk mengenyangkan tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi esensial anak-anak dan kelompok sasaran lainnya.
Jenis makanan yang dianjurkan harus berupa makanan yang baru diolah, kaya protein (seperti telur, ayam, ikan, tahu, tempe), sumber karbohidrat (nasi, roti, umbi-umbian), serta dilengkapi dengan sayur dan buah.
Untuk mengatasi masalah keracunan dan menjaga integritas program, diperlukan solusi komprehensif:
Peningkatan Standar dan Pengawasan Dapur (SPPG):
Sertifikasi Wajib: Setiap SPPG wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), Sertifikat Halal, dan Sertifikat Penggunaan Air Layak Pakai.
Perekrutan Koki Profesional: Percepatan perekrutan 60 ribu koki bersertifikat yang bertugas memastikan standar kebersihan, keamanan bahan baku, dan teknik pengolahan skala besar.
Pengujian Cepat: Presiden telah menginstruksikan penggunaan alat uji keamanan pangan cepat di semua SPPG untuk memastikan kualitas makanan sebelum didistribusikan.
Ketentuan dan Kontrol Bahan Baku:
Sertifikasi BPOM/P-IRT: Wajib bagi semua pemasok bahan baku SPPG.
Sistem Daftar Cek Inbound: Penerapan sistem ketat untuk pemeriksaan dan pengujian kualitas sampel bahan baku yang masuk.
Sanksi Tegas: Pemasok atau SPPG yang berulang kali melanggar spesifikasi kualitas harus diberi sanksi tegas hingga blacklist atau proses pidana jika ditemukan unsur kelalaian fatal.
Penyempurnaan SOP Produksi dan Distribusi:
Pengurangan Waktu Tunggu: Penyesuaian jadwal masak agar waktu tunggu antara pengolahan dan konsumsi sangat minimal, membatasi pertumbuhan bakteri.
Penambahan Tenaga Masak: Penambahan tenaga kerja di dapur untuk menghindari pengolahan makanan terlalu dini.
Sinergi antara pemerintah pusat (BGN), pemerintah daerah, dan pengawasan masyarakat—termasuk melalui hotline pengaduan—adalah kunci agar program MBG tidak hanya menjadi ambisi gizi di atas kertas, tetapi juga program yang aman, terpercaya, dan benar-benar bermanfaat bagi generasi penerus bangsa. (One*)