Petani Keluhkan Harga dan Langkanya Pupuk Subsidi

Tanggamus – Fakta Aktual.

Pupuk bersubsidi merupakan salah satu elemen krusial dalam sistem pertanian Indonesia. Program ini dirancang untuk meringankan beban petani, memastikan ketersediaan pupuk dengan harga terjangkau, dan pada akhirnya, meningkatkan produktivitas sektor pertanian.

Namun, belakangan ini, implementasi program pupuk bersubsidi menghadapi berbagai tantangan serius yang merugikan petani. Masalah utamanya adalah kelangkaan, harga yang mahal, dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkannya.

Kelangkaan dan Harga Mahal

​Kelangkaan pupuk bersubsidi menjadi isu yang terus berulang setiap musim tanam. Di berbagai daerah, petani sering kali kesulitan menemukan pupuk dengan jatah yang sesuai.

Akibatnya, mereka terpaksa membeli pupuk nonsubsidi yang harganya jauh lebih mahal, atau membeli pupuk bersubsidi dari oknum dengan harga di atas HET (Harga Eceran Tertinggi). Fenomena ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam jalur distribusi.

Meskipun pemerintah telah menetapkan kuota dan mekanisme distribusi, praktik-praktik ilegal seperti penimbunan dan penjualan di pasar gelap masih marak terjadi. Hal ini tidak hanya membebani petani secara finansial, tetapi juga mengganggu jadwal tanam dan berpotensi menurunkan hasil panen.

Rumitnya Persyaratan

​Persyaratan untuk mendapatkan pupuk bersubsidi juga sering kali menjadi hambatan besar bagi petani. Proses administrasi yang kompleks, seperti keharusan memiliki Kartu Tani atau terdaftar dalam RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), seringkali tidak berjalan mulus.

Banyak petani, terutama yang berada di daerah terpencil atau yang tidak familiar dengan teknologi, kesulitan untuk mengurusnya. Akibatnya, banyak dari mereka yang secara sah berhak menerima pupuk bersubsidi justru tidak bisa mengaksesnya. Proses yang berbelit-belit ini menciptakan birokrasi yang panjang dan membuka celah bagi praktik pungutan liar.

Solusi yang Diperlukan

​Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret dan komprehensif. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap rantai distribusi pupuk bersubsidi. Sanksi tegas harus diberikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penimbunan dan penjualan di atas HET. Pemanfaatan teknologi digital, seperti sistem pelacakan berbasis GPS, bisa digunakan untuk memantau pergerakan pupuk dari pabrik hingga ke kios-kios resmi.

​Kedua, penyederhanaan sistem administrasi harus menjadi prioritas. Pemerintah harus memastikan bahwa Kartu Tani dan RDKK dapat diakses dan digunakan dengan mudah oleh semua petani, tanpa terkecuali.

Sosialisasi yang lebih gencar dan pendampingan di lapangan sangat diperlukan untuk membantu petani mengurus persyaratan. Alternatif lain, seperti penggunaan KTP sebagai basis data, bisa dipertimbangkan untuk mempermudah proses verifikasi.

​Ketiga, evaluasi kembali kuota dan mekanisme distribusi sangat penting. Alokasi pupuk harus disesuaikan dengan kebutuhan riil di lapangan, bukan hanya berdasarkan data administratif semata. Keterlibatan kelompok tani dan pemerintah daerah harus lebih ditingkatkan dalam perencanaan dan pengawasan.

​Dengan demikian, program pupuk bersubsidi dapat kembali pada tujuannya semula: menyejahterakan petani dan menjaga ketahanan pangan nasional. Tanpa perbaikan yang serius, kelangkaan dan harga mahal akan terus menghantui petani, membuat mereka semakin sulit untuk bertahan dan mengembangkan usahanya. (One*)

Related posts
Tutup
Tutup