Salam satu pena – Fakta Aktual.
Bulan Ramadhan adalah bulan perjuangan, bukan hanya soal menahan haus dan lapar tapi juga berjuang mengejar THR.
Menjelang lebaran para ASN/PNS sudah pasti tenang dengan urusan THR, tinggal cek saldo di ATM, cling! lembaran rupiah pun masuk ke rekening pribadi secara otomatis.
Demikian juga dengan karyawan pabrik atau BUMN, setidaknya mereka pasti dapat bingkisan THR dari perusahaan, walaupun mungkin besarannya belum dapat dipastikan.
Tapi bagaimana dengan para pekerja non formal yang hidupnya masih abu-abu tanpa kejelasan laksana signal di tengah belantara?.
Selamat datang di bulan penuh perjuangan, untuk rekan-rekan pekerja non formal, yang THR nya masih samar seperti bayang-bayang.
Level satu, Ormas/LSM (tidak semua).
Ini adalah ahlinya dalam bidang pembuatan proposal. Jika sudah menjelang idul fitri, pengajuan Proposal siap disetorkan kepada semua Perusahaan, Instansi pemerintah, para Kepala desa, Kepala sekolah, bahkan pengusaha yang terlihat kantongnya tebal, tak luput dari targetnya.
Dengan format proposal menggunakan Kop surat resmi, dilengkapi cap basah dan tanda tangan, dibumbuhi kalimat pembuka yang puitis bernada merayu bak punjangga, kemudian ditutup dengan kata-kata yang penuh harapan.
Biasanya kalau pejabatnya yang cepat respon maka keluar beberapa dus kue kering atau minuman botol, ditambah amplop coklat berisi lembaran rupiah.
Tapi jika berjumpa dengan para pejabat yang cuek dan tidak memberi tanggapan dalam waktu 24 jam, maka di follow up dengan telepon atau pesan singkat WhatsApp, bernada halus.
“Selamat pagi/malam, maaf mengganggu waktunya sebentar, semoga bpk/ibu berkenan untuk menerima proposal kami, salam sehat dan sukses selalu,” begitu kira-kira bunyinya.
Level kedua, Wartawan (tidak semua).
Bagi wartawan yang bekerja di perusahaan media yang sudah bonafit tentu tidak ada persoalan tentang THR, beda cerita dengan wartawan lepas atau independent yang hanya bermodal KTA dan surat tugas serta mulut manis tanpa kejelasan legalitas perusahaannya.
Untuk level ini, setiap menjelang lebaran, mereka berkunjung ke kantor-kantor dinas pemerintah, para Kepala desa, Kepala sekolah, Perusahaan swasta/BUMN dan UMKM yang sedang banjir orderan.
Laksana jailangkung, datang tak undang pergi tidak diantar, mereka membangun pendekatan secara persuasif, dengan bahasa diplomatis tingkat dewa.
Diawali konfirmasi diteruskan dengan basa-basi, mengusung tema ‘ngeri-ngeri sedap’ ditambah sedikit ‘bualan’ cerita pribadi agar hati pejabat di buat ngeri.
Soal manufer bicara dan menggiring opini, jangan ditanya lagi, mereka itu ahlinya ahli, intinya inti, core of the core, paling jagonya siasat, diplomasi ulung.
Jika ternyata dirasa belum ada respon, nada bicara dinaikan ke level lebih tinggi, kadang menyasar ranah pribadi dan mengusik data profesi.
Bagi para pejabat yang sudah senior, mereka akan paham tentang munculnya fenomena tahunan di bulan suci ramadhan seperti ini.
Seperti tak mau kalah siasat, para pejabat pun menggunakan jurus ‘ghosting’, menghilang tanpa jejak dan sulit untuk ditemui.
Tidak hanya di kantor, di rumah pun tertutup rapat, terkunci seperti tak berpenghuni, jika ditelepon yang wajib menjawab sang operator, “maaf nomor telepon yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan”. (One*).
Disclaimer : Artikel opini.